ANGKASA PURI KELANA

Halaman

Senin, 11 April 2016

Pak Harto dan Sambernyowo

Oleh Djoko Suud

Djoko Suud
Pak Harto sangat kritis. Masih terbaring lemah di RSPP Jakarta. Jika dilihat dari usia dan banyaknya organ tubuh yang tidak berfungsi, maka tidak ndisiki kerso, Pak Harto rasanya mendekati hari akhir.

Kita tidak perlu menipu diri sendiri. Takdir manusia memang seperti itu. Dari tanah kembali ke tanah. Dan tiap yang hidup akan menuju kematian. Itu pula makna kuburan, yang diidentifikasi sebagai rumah masa depan.


Rumah masa depan Pak Harto sudah disiapkan. Astana Giri Bangun adalah kompleks pemakaman keluarga Cendana. Terletak di kabupaten Karanganyar, Matesih, Mangadeg, dimana Ibu Tien Soeharto juga dikebumikan.

Kawasan Mangadeg bukan area pemakaman tunggal. Di lokasi ini sebelumnya juga berdiri makam, tempat jasad Sambernyowo dikebumikan. Letak kuburan pendiri trah Mangkunegaran itu tak jauh. Hanya ratusan meter dari astana Giri Bangun.

Sambernyowo adalah Raden Mas Said. Merupakan pahlawan rakyat Jawa Tengah, khususnya Surakarta dan Kartasura. Itu karena keberaniannya menentang penjajah Belanda, juga kesaktiannya. Sang Hero ini diyakini bisa menghilang, memporak-porandakan lawan tanpa perlu balatentara, dan persenjataan modern.

Konsep tijitibeh, mati siji mati kabeh, diberlakukan. Merealisasi perang gerilya melalui pengamatan di Gunung Gambar. Dan dengan kejeniusannya, maka Tridharma yang kemudian diadopsi sekarang ini disosialisasikan untuk memotivasi rakyat mencintai dan loyal terhadap kerajaannya.

Kehebatan Sambernyowo itu tak sekadar membuat rakyat kagum. Mistisisme Jawa telah membawanya pada tingkat kekaguman yang lebih tinggi. Sang raja terangkat menjadi tokoh mistis, yang dipuji sekaligus secara metafisis ditempatkan sebagai pepunden.

Ini yang menjadikan pembangunan astana (makam) Giri Bangun pada awalnya disoal. Sebagian rakyat belum bisa menerima pembangunan makam di dekat makam Sambernyowo yang dikultuskan itu. Malah ada sebagian rakyat yang selalu menghubung-hubungkan musibah dan prahara dengan keberadaan astana Giri Bangun yang baru dibangun.

Dan ketika terjadi musibah longsor baru-baru ini, maka korban jiwa yang banyak disebutnya sebagai tumbal, termasuk tanaman anthurium yang berharga miliaran itu. Bagaimana dengan klan Mangkunegaran sendiri? Ternyata, disana juga ada sesal yang tak terucapkan.

Kini, hari-hari ini, jika asumsi banyak pihak terhadap kekritisan phisik Pak Harto menjadi kenyataan, maka rasanya, borok lama itu akan kembali terkuak. Adakah di alam metafisis juga sedang terjadi pro-kontra soal nasib Pak Harto? Wallahua'lam bissawab.

Rasanya benar jawaban abdi dalem Mangkunegaran kalau ditanya soal Sambernyowo di Gunung Gambar.  Sedang apakah Sambernyowo? Jawab mereka, "Gusti Pangeran sedang nggambar negoro."

****

Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati budaya, kolomnya secara rutin menhgiasi detikcom. Kolom “Pak Harto dan Sambernyowo” muncul di detikcom 16 januari 2008

Paling banyak dibaca