Oleh Djoko Suud
Djoko Suud |
Pak Harto sangat
kritis. Masih terbaring lemah di RSPP Jakarta. Jika dilihat dari usia dan
banyaknya organ tubuh yang tidak berfungsi, maka tidak ndisiki kerso, Pak Harto
rasanya mendekati hari akhir.
Kita tidak perlu
menipu diri sendiri. Takdir manusia memang seperti itu. Dari tanah kembali ke
tanah. Dan tiap yang hidup akan menuju kematian. Itu pula makna kuburan, yang
diidentifikasi sebagai rumah masa depan.
Rumah masa depan
Pak Harto sudah disiapkan. Astana Giri Bangun adalah kompleks pemakaman
keluarga Cendana. Terletak di kabupaten Karanganyar, Matesih, Mangadeg, dimana
Ibu Tien Soeharto juga dikebumikan.
Kawasan Mangadeg
bukan area pemakaman tunggal. Di lokasi ini sebelumnya juga berdiri makam,
tempat jasad Sambernyowo dikebumikan. Letak kuburan pendiri trah Mangkunegaran
itu tak jauh. Hanya ratusan meter dari astana Giri Bangun.
Sambernyowo
adalah Raden Mas Said. Merupakan pahlawan rakyat Jawa Tengah, khususnya
Surakarta dan Kartasura. Itu karena keberaniannya menentang penjajah Belanda,
juga kesaktiannya. Sang Hero ini diyakini bisa menghilang, memporak-porandakan
lawan tanpa perlu balatentara, dan persenjataan modern.
Konsep tijitibeh,
mati siji mati kabeh, diberlakukan. Merealisasi perang gerilya melalui
pengamatan di Gunung Gambar. Dan dengan kejeniusannya, maka Tridharma yang
kemudian diadopsi sekarang ini disosialisasikan untuk memotivasi rakyat
mencintai dan loyal terhadap kerajaannya.
Kehebatan
Sambernyowo itu tak sekadar membuat rakyat kagum. Mistisisme Jawa telah
membawanya pada tingkat kekaguman yang lebih tinggi. Sang raja terangkat
menjadi tokoh mistis, yang dipuji sekaligus secara metafisis ditempatkan
sebagai pepunden.
Ini yang
menjadikan pembangunan astana (makam) Giri Bangun pada awalnya disoal. Sebagian
rakyat belum bisa menerima pembangunan makam di dekat makam Sambernyowo yang
dikultuskan itu. Malah ada sebagian rakyat yang selalu menghubung-hubungkan
musibah dan prahara dengan keberadaan astana Giri Bangun yang baru dibangun.
Dan ketika
terjadi musibah longsor baru-baru ini, maka korban jiwa yang banyak disebutnya
sebagai tumbal, termasuk tanaman anthurium yang berharga miliaran itu.
Bagaimana dengan klan Mangkunegaran sendiri? Ternyata, disana juga ada sesal
yang tak terucapkan.
Kini, hari-hari
ini, jika asumsi banyak pihak terhadap kekritisan phisik Pak Harto menjadi
kenyataan, maka rasanya, borok lama itu akan kembali terkuak. Adakah di alam
metafisis juga sedang terjadi pro-kontra soal nasib Pak Harto? Wallahua'lam
bissawab.
Rasanya benar
jawaban abdi dalem Mangkunegaran kalau ditanya soal Sambernyowo di Gunung
Gambar. Sedang apakah Sambernyowo? Jawab
mereka, "Gusti Pangeran sedang nggambar negoro."
****
Djoko Suud
Sukahar adalah pemerhati budaya, kolomnya secara rutin menhgiasi detikcom.
Kolom “Pak Harto dan Sambernyowo” muncul di detikcom 16 januari 2008