ANGKASA PURI KELANA

Halaman

Selasa, 22 Maret 2016

Hari-Hari Terakhir Pak Harto Sebelum Wafat


Tidak banyak yang mengira ternyata Pak Harto orangnya sangat religius dan taat mrenjalankan ibadah, demikian diceritakan Qurais Sihab yang dikutip dari buku Cahaya, Cinta, dan Canda Quraish Shihab karya Mauluddin Anwar, Latief Siregar, dan Hadi Mustofa yang diterbitkan Lentera Hati.
Saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, mulut Soeharto tak henti menggumamkan zikir. Jika dalam kondisi sadar, ia selalu menunaikan salat di awal waktu.



Kepada dokter, Pak Harto bersikukuh meminta tubuhnya dimiringkan menghadap kiblat. Padahal, sudah dijelaskan ada dispensasi bagi orang yang sakit dalam menunaikan salat.

Quraish Shibah mendampingi hari-hari terakhir Soeharto. Ia menyaksikan penguasa di era pemerintahan Orde Baru tersebut tampak ikhlas dan siap menghadapi kematian. Jauh-jauh hari, Pak Harto berpesan soal penguburannya.

Bila wafat sebelum Zuhur, ia meminta jenazahnya diterbangkan ke Astana Giribangun hari itu juga. Namun, jika berpulang setelah Zuhur, Pak Harto meminta jasadnya diinapkan dulu di Cendana.

Minggu 27 Januari 2008, Pak Harto wafat selepas Zuhur. Jenazahnya diinapkan di Cendana. Sebelum diterbangkan ke Astana Giribangun, di hadapan para peziarah Quraish berbicara.

"Seandainya Pak Harto hanya memimpin penumpasan komunisme, itu saja sudah cukup. Tapi banyak kebaikan lain Pak Harto, seperti membangun hampir 1.000 masjid hingga akhir hayatnya. Bukan berarti Pak Harto tak punya kesalahan, tapi kebaikan dan jasanya jauh lebih banyak," kata Quraish.

Quraish merasakan, Pak Haro makin religius sesudah lengser dari kursi Presiden. Hampir setiap pagi sebelum Subuh, Pak Harto bangun untuk menjalankan salat tahajud.

Quraish kerap diajak diskusi soal ritual, kadar kekhusyuan salat hingga derajat ketakwaan. Sesekali Quraish menyisipkan kisah-kisah tokoh Muslim masa lalu.

"Pak Harto menyimak dengan penuh khidmat, seperti seorang murid mendengar petuah guru. Padahal, Pak Harto jauh lebih tua dari saya, dan dia orang yang mengerti agama," kata Quraish.

Menurut Quraish, penghayatan dan pengamalan ajaran agama lah yang membuat Pak Harto tegar dan pasrah menghadapi berbagai hujatan. Juga ketika penyakit mulai mendera, hingga menjelang akhir hayatnya.

Soeharto benar-benar menjadi pesakitan setelah meletakkan jabatan Presiden. Hujatan untuk menyeretnya ke pengadilan makin menggema.

Orang-orang yang selama Pak Harto berkuasa dikenal dekat atau mengaku dekat tiba-tiba menjauh. "Boleh jadi karena takut dianggap Soehartois atau tak lagi mendapat keuntungan," kata cendikiawan Muslim Quraish Shihab.

Quraish mungkin salah seorang yang masih tetap setia mendampingi Pak Harto hingga dalam posisi sulit sekali pun. Bahkan hubungannya dengan Pak Harto makin dekat.

"Dulu, saya sering datang dan bicara tentang keagamaan kepada Pak Harto dan keluarganya. Sekarang ketika posisinya sulit, tidaklah etis dari sisi agama untuk memutus hubungan. Saya tidak peduli orang akan mencap saya Soehartois."

Hal itu sekaligus membuktikan bahwa Quraish tak berharap keuntungan materi dari kedekatannya dengan keluarga Cendana. Dia yakin semua orang tahu keluarga ini mendapat anugerah Ilahi, berkecukupan materi.

"Saya ingin mereka menjadikan materi yang berlimpah itu diarahkan sesuai dengan tuntunan agama. Kalau mereka keliru menerapkan ajaran agama, saya katakan keliru. Kalau benar, saya benarkan. Saya tak mendapatkan keuntungan materi sedikit pun," kata Quraish.

Kedekatan Quraish dengan Pak Harto bermula dari hubungannya dengan Bambang Trihatmodjo, anak ketiga Pak Harto. Hubungan makin dekat saat Quraish diminta menjadi penerjemah di Istana Negara.

Maret 1998, Soeharto menunjuk Quraish sebagai Menteri Agama Kabinet Pembangunan VII. Tak banyak yang bisa ia lakukan. Dua bulan kemudian, pemerintahan Orde Baru tumbang.

Quraish malah berperan sebagai penghubung antara Pak Harto dengan tokoh Muslim seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Emha Ainun Nadjib. Pak Harto sempat ingin membentuk Komite Reformasi. Ia ingin tokoh tersebut mengawal Komite Reformasi bahkan menunjuk Cak Nur (Nurcholis Madjid) sebagai ketuanya.

"Saya yang menyampaikan pesan Pak Harto pada Cak Nur dan membujuknya untuk menerima kepercayaan Pak Harto. Tapi Cak Nur menolak dengan alasan tidak enak pada kawan-kawan yang menuntut Pak Harto mundur," cerita Quraish.

Hari-hari itu, menurut Quraish, sangat menegangkan dan membebani Pak Harto yang sudah berusia 77 tahun. Namun, dia menyaksikan sang Presiden tetap tegar saat menerima kabar Cak Nur menolak.

Quraish melihat raut kekecewaan di wajah Pak Harto, tapi emosinya tetap terjaga. "Ya sudah, kalau begitu saya mundur. Nurcholish yang moderat saja sudah tidak bisa menerima saya," tutur Quraish mengutip pernyataan Pak Harto.

Hal itu Soeharto sampaikan pada Rabu malam 20 Mei 1998, di rumahnya di Jalan Cendana, Jakarta Pusat. Quraish dan Menteri Sekretaris Negara Saadillah Mursyid yang pertama kali mendengar rencana Soeharto mundur dari Presiden. Esok harinya, Pak Harto mengumumkan pengunduran diri.

Paling banyak dibaca